Di masa depan, pakaian hanya dibuat dengan segulung benang dan mesin ini
beritaterkini99- Saat menghadiri event Lifewear Day 2018, akhir September lalu di Paris, ada salah satu teknologi yang cukup menyita perhatian FIMELA. Teknologi ini dipajang pada salah satu Ruang pameran. Bernama WHOLEGARMENT, teknologi ini dijalankan sebuah mesin yang mampu membuat sebuah pakaian rajut dari – say, segulung benang.
Teknologi ini sudah dipakai UNIQLO selama beberapa tahun terakhir untuk koleksi pakaian rajut mereka. Salah satunya adalah koleksi UniqloU yang dirancang oleh Christophe Lemaire. Mesinnya sendiri disediakan oleh perusahaan Shima Seiki Jepang. Mesin ini pun sebenarnya sudah digunakan oleh beberapa pihak lain. Menambah kekaguman FIMELA akan segala potensi yang dapat dicapai oleh teknologi seperti ini di masa depan. Bagaimana jika, ternyata beberapa tahun ke depan, membuat pakaian akan jadi sesederhana memasang segulung benang dan komputer tinggal mencetak sesuai desain?
Dengan desain minimalis, sangat kalem, dan esensial, boleh dibilang, rilisan UNIQLO adalah jawaban bagi siapa pun yang ingin berpakaian bebas ribet. Siluet-siluet klasik, dalam berbagai warna pilihan, yang menunjang gaya berpakaian yang tidak ‘sombong.’ Sebaliknya, cerdas. Sesuatu yang, bisa dipakai sampai kapan pun. Kecuali memang pakaian tersebut benar-benar rusak. Kesinambungan fashion, sering disebut sustainability, adalah poin penting dari industri fashion saat ini. Di mana keberadaan fast fashion, dengan kemampuannya memproduksi pakaian dalam jumlah besar – dengan singkat – berisiko menambah sampah pakaian tadi. UNIQLO memberikan antitesis buat itu.
Pertemuan FIMELA dengan John John C. Jay, President of Global Creative Fast Retailing Co. Ltd mengungkapkan bahwa kemampuan teknologi WHOLEGARMENT yang sudah diaplikasikan UNIQLO ini adalah jawaban untuk masa depan untuk retail. Masa depan pula untuk gaya berpakaian minimalis. Kesederhanaan proses pembuatan pakaian ini mampu mengurangi beberapa fase fase lain, yang di pembuatan pakaian konvensional harus dilewati.
Dan karena dibuat dengan segulung benang, tanpa menjahit, maka sampah dapat diminimalisir. Sampah dan industri retail adalah dua sisi mata uang, yang beberapa tahun terakhir menjadi tajuk utama berita. Terlebih, fakta bahwa sampah pakaian yang tak dapat didaur ulang adalah sampah nomor ke-2 terbesar saat ini secara global. Lalu apakah pakaian-pakaian UNIQLO tak dapat menjadi sampah pula, seperti buangan retail lainnya? Rasanya ini dapat dijawab dengan etos LifeWear itu sendiri. Etos yang kemudian juga menjadi salah satu keputusan, teknologi WHOLEGARMENT ini digunakan oleh UNIQLO.
Tapi tentu, John Jay mengaku, masalah kesinambungan fashion bukan cuma sampah yang dihasilkan. Ada poin ketenaga kerjaan, gender sampai kesetaraan upah yang terus diperbaiki oleh UNIQLO ke depannya. Karena bagi UNIQLO, LifeWear termasuk poin-poin tadi. Sebuah etos cerdas, yang memang tercipta agar semua proses produksi, juga semua yang terlibat di dalamnya mampu bergerak ke arah hidup yang lebih baik. Singkatnya, LifeWear ingin menggerakan hidup menjadi simpler, better.
Dan sangat menarik menganalisa bagaimana UNIQLO yang lebih ingin disebut pakaian esensial ini, menjadi lebih sederhana ke depannya. Karena dari yang kita amati, UNIQLO sudah begitu simple. Tapi, John Jay menambahkan pula, simpler – jangan hanya dilihat dari tampilan luar. Bisa saja pada pengurangan jahitan di pakaian, atau pemilihan bahan yang juga menjadi lebih simple. Banyak kemungkinan lain. Yang rasanya akan terus tercipta, seiring berkembangnya teknologi.
Tapi, bila pada masanya nanti mesin benar-benar membuat semua pakaian dan etos LifeWear nampak jadi tidak relevan bagaimana kita harus melihatnya? “Yang penting adalah pada hasilnya, UNIQLO menciptakan pakaian yang jadi bagian dari hidup manusia. Pakaian yang jadi bagian identitas masing-masing dari kita. Tapi, bukan pakaian yang membentuk kita,” tutup John Jay.